Sebuah Langkah Menjaga Komunikasi Untuk Toleransi

Kimmesem saat mengkampanyekan bahaya berita hoax dan
pentingnya menjaga persatuan di Festival Tunjungan


KIMMESEM - Perkembangan teknologi informasi saat ini kian tak bisa dibendung lagi, berbagai kalangan baik dalam segi usia maupun profesi menyadari tak bisa menghindar dari dampak ini. Beberapa dari dampak perkembangan teknologi tersebut adalah dengan lahirnya  alat komunikasi seperti handphone, internet, televisi dan lain-lain. Hal inilah yang menjadikan akses informasi menjadi semakin cepat dan mudah untuk didapat.

Salah satu kemudahan dalam mendapatkan informasi itu sendiri adalah dengan adanya media sosial. Membahas tentang media sosial tentu tidak lepas dengan nama-nama media sosial mainstream saat ini, sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, sampai ke yang berbasis chatting seperti Whatsapp, Line, Kakao Talk dan lainnya.

Sesuai dengan data yang dipublikasikan oleh Kementerian Kominfo Republik Indonesia pada Tahun 2018 disebutkan bahwa pengguna internet mencapai 54 persen atau 143 juta dari 265 juta jiwa penduduk Indonesia. Ini berarti mayoritas penggunaan internet untuk bersosialisasi melalui media sosial. Jumlah pengguna media sosial ini mencapai 56% dari jumlah total penduduk Indonesia, dengan pengguna berbasis mobilenya mencapai 130 juta. Tidak heran jika semua platform media sosial akhirnya fokus untuk optimalisasi aplikasinya di mobile.

Melihat tingginya angka masyarakat Indonesia dalam menggunakan media sosial, maka tak heran dewasa ini media sosial menjadi sebuah trend bahkan habbit tersendiri untuk menunjukkan eksistensi. Namun, seiring dengan perkembangan tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari dampak negatif dan positifnya. 

Sebut saja, masih hangat ditelinga kita akan kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya yang berdampak pada demonstrasi dan kerusuhan warga Papua di Kota Manokwari, Sorong dan Jayapura. Dilansir dari Kompas.com, berdasarkan keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menyatakan, salah satu penyebab unjuk rasa berujung kerusuhan di Manokwari, Papua Barat, Senin (19/8/2019) karena terprovokasi konten negatif di media sosial.

Dedi Prasetyo mengatakan di media sosial banyak beredar konten negatif terkait penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Konten yang dibangun di media sosial dan tersebar di antara warga Papua, dapat membangun opini bahwa peristiwa penangkapan mahasiswa Papua adalah bentuk diskriminasi dan ada praktik rasisme di sana. Padahal, Dedi Prasetyo memastikan penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya itu sudah selesai secara hukum. Awalnya, polisi menerima laporan mengenai perusakan bendera merah putih di asrama mahasiswa Papua. Kemudian polisi memeriksa beberapa mahasiswa yang tinggal di asrama. Karena tidak menemukan unsur pidana, kepolisian pun melepaskan mereka kembali.

Untuk meredam dan tak ingin persitiwa pahit itu terulang kembali, maka Walikota Surabaya, Tri Rismaharini pun menghimbau seluruh warganya maupun warga Papua yang tinggal di Surabaya, untuk menjaga persatuan dan kesatuan dengan tidak mudah termakan berita hoaks. Sebab perkembangan teknologi informasi membuat berita hoaks mudah diciptakan dan dengan mudah cepat tersebar lewat media sosial.

Dalam upaya mengurangi permasalahan tersebut maka di perlukanlah Revolusi Mental melalui berbagai platform media sosial. Revolusi Mental dalam hal ini adalah gerakan untuk mengubah cara pandang, cara pikir, sikap dan perilaku para pengguna media sosial untuk tidak mudah menyebar informasi dan berita yang mengandung unsur kebohongan dan melukai keberagaman.  

Hindari pula penyebaran informasi yang mengandung unsur SARA (Suku, Agama dan Ras). Serta yang tak kalah pentingnya adalah agar kita lebih cerdas dalam menangkap informasi dengan melakukan kroscek terlebih dahulu atas kebenaran informasi tersebut.

Sebagai agen informasi, Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) merupakaan garda terdepan dalam menjaga kebhinekaan di Kota pahlawan. Jangan sampai tangan kita menjadi bagian dari tangan haram yang menjadi pelaku penyebar kebohongan.
Dengan revolusi mental dalam bermedia sosial, mari kita jaga dan pertahankan Surabaya sebagai kota multikultural yang bersatu dalam perbedaan dengan turut aktif mengkampanyekan stop berita bohong dan mengingatkan akan pentingnya persatuan dan kesatuan serta komunikasi untuk toleransi.

Ditulis oleh Rina (KIM MESEM)

Ingat sllu kita Gaungkan Komunikasi untuk Toleransi ciptakan Persatuan dan Kesatuan NKRI Harga Mati


@jatimpmprov
@kominfojatim
@khofifah.ip
@emildardak
#jkf2019
#LCCKJatim2019
#keberagamanmasyarakat
http://surabaya.go.id
https://id-id.facebook.com/sapawargakotasurabaya
https://twitter.com/SapawargaSby

https://www.instagram.com/sapawargasby

Kimmesem saat mengkampanyekan bahaya berita hoax dan 
pentingnya menjaga persatuan di CFD Merr