Kamis, 19 April 2018
KIMMESEM - Solutif dan inovatif, itulah yang tercermin dari warga RT 04 RW 02 Kelurahan Medokan, Kecamatan Sukolilo, Surabaya. Untuk mengurangi volume sampah yang menjadi problema dan perhatian khusus Walikota Surabaya, Tri Rismaharini di Kota Pahlawan ini, seorang ketua RT di Kelurahan Medokan Semampir dibantu para kader lingkungannya berinovasi menjadikan sampah organik sebagai pakan ternak. Sampah organik seperti sayuran, buah busuk, ikan dan nasi basi yang selama ini sering terbuang sia-sia atau hanya sekedar menjadi kompos tanaman saja, kini melalui proses dekomposisi dan fermentasi ternyata juga bisa menghasilkan maggot atau larva yang berguna sebagai pakan ikan, serangga dan ternak lainnya.
DR Chris Zueberg (Baju biru) melihat budidaya BSF di RT 04 Medokan Semampir |
KIMMESEM - Solutif dan inovatif, itulah yang tercermin dari warga RT 04 RW 02 Kelurahan Medokan, Kecamatan Sukolilo, Surabaya. Untuk mengurangi volume sampah yang menjadi problema dan perhatian khusus Walikota Surabaya, Tri Rismaharini di Kota Pahlawan ini, seorang ketua RT di Kelurahan Medokan Semampir dibantu para kader lingkungannya berinovasi menjadikan sampah organik sebagai pakan ternak. Sampah organik seperti sayuran, buah busuk, ikan dan nasi basi yang selama ini sering terbuang sia-sia atau hanya sekedar menjadi kompos tanaman saja, kini melalui proses dekomposisi dan fermentasi ternyata juga bisa menghasilkan maggot atau larva yang berguna sebagai pakan ikan, serangga dan ternak lainnya.
Ketua RT 04 RW 02 Medokan Semampir, Erwin Ariyanto menuturkan jika
awal mula dirinya memulai pemanfaatan sampah organik ini karena melihat
banyaknya volume sampah sisa makanan yang ada di kampungnya. “ Kalo untuk
sampah kering, seperti kertas, botol dan lainnya kami sudah punya Bank Sampah.
Tapi, kalau untuk sampah sisa makanan dan sayuran ini yang kadang belum
termanfaatkan secara maksimal dan justru hanya menambah volume sampah yang
dibuang ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS),” tuturnya.
Dengan berbekal kesabaran, Erwin pun memulai memberikan pemahaman
pada warganya agar membuang sampah sisa makanan di komposter cair yang telah
disediakan. Alasan Erwin memilih komposter cair dan bukan komposter
padat/kering karena masa panen kompos di komposter cair lebih cepat di banding
komposter kering atau aerob. “ Kalau di komposter cair, masa panennya hanya
10-20 hari sampah sudah terurai dan bisa digunakan untuk memupuk tanaman, tapi
kalau di komposter kering ini kan harus nunggu 6-8 bulan,” tambah bapak tiga
anak ini.
MENGHASILKAN MAGGOT/LARVA
Maggot atau larva yang dihasilkan |
Maggot/larva inilah yang oleh Erwin kemudian dijadikan pakan burung
miliknya dan ikan lele di kolam yang ada diujung gang kampungnya. “Saya coba untuk pakan burung dan ikan,
ternyata lahap sekali, ” ujarnya.
Melihat peluang yang ada, Erwin pun mencoba menjual maggot
ini ke teman-temannya penghobi burung. Gayung
pun bersambut, pesanan pun perlahan berdatangan. Dari dua buah komposter cair berkapasitas 20 ltr yang ia miliki, dalam 12 hari dirinya mampu menghasilkan 8-10 kg
maggot. Banyaknya maggot yang dihasilkan membuat Erwin kewalahan, pasalnya
setelah memasuki 6 hari, maggot-maggot tersebut akan mengering menjadi kepompong
alias menjalani proses metamorfosa menjadi lalat yang dikenal sebagai Black
Soldier Fly (BSF) atau lalat tentara hitam.
PEMERINTAH SWISS TERTARIK MEMBANTU
Kesabaran Erwin dan warganya dalam berjibaku dengan sampah yang bau
dan menjijikkan ini ternyata mendapatkan perhatian institut sains dan teknologi
akuatik dari Kementrian Perekonomian Swiss yang ada di Indonesia yakni EAWAG (Eidgenössische
Anstalt für Wasserversorgung, Abwasserreinigung und Gewässerschutz ).
Direktur EAWAG, DR Chris Zuerburg sengaja
datang ke kampungnya untuk melihat proses budidaya larva yang dilakukannya.
Meskipun masih dilakukan secara manual dan sangat sederhana, akan tetapi Chris
sangat mengapresiasi usaha Ketua RT 04 dan warganya dalam upaya mereduksi
sampah di Kota Surabaya. “ Kami sangat senang sekali bisa melihat dan menemukan
usaha orang-orang ini dalam mengurangi sampah,” terang Chris di sela-sela
kunjungannya.
Meski dibawah guyuran gerimis, Chris ditemani perwakilan EAWAG yang
ada di Surabaya yakni Mr. Bram dan Putra menyempatkan diri untuk berkeliling
kampung dan melihat TPS yang ada di Medokan Semampir.
JUGA MENGHASILKAN PUPUK ORGANIK CAIR
Tak hanya menghasilkan larva atau maggot saja, ternyata air dari sampah
organik ini juga Erwin manfaatkan sebagai pupuk organic cair (POC) untuk
menyuburkan berbagai tanaman yang ada di kampungnya. Dari dua buah kompster
yang ada, dirinya bisa memproduksi pupuk organik cair 15-25 botol berukuran 500
ml seminggu sekali. Selain untuk menyuburkan tanaman di kampungnya, warga juga
menjualnya dengan harga yang sangat murah sekali. “ Kalau diluar harganya
sekitar 35 ribu-40 ribu, tapi untuk wilayah sini kami hanya menjual 10 ribu,” kata
Erwin.
Melihat semangat dan usaha warganya dalam mengolah sampah tersebut,
Lurah Medokan Semampir, Supriono S.Sos.,MM berharap agar Medokan Semampir bisa menjadi
destinasi kampung wisata lingkungan baru di Surabaya dan bisa dikembangkan
dengan maksimal.
Harapan Supriono bukanlah tidak mungkin, pasalnya kampung RW 02 Medokan
Semampir merupakan kampung yang pernah menyabet Best Of the Best Merdeka Dari
Sampah pada Tahun 2014 yang lalu dan sering menjadi jujugan para wisatawan dalam
maupun luar negeri. (fud/foto:fud)